Mencermati Bank Sampah

Melanjutkan catatan saya sebelumnya tentang mimpi membangun RW Hijau, saya akan menceritakan sedikit tentang proses membangun jaringan komunitas bank sampah yang sedang diupayakan teman-teman UI untuk kota Depok dari kacamata saya yang sederhana.

Membangun bank sampah bisa menjadi salah satu solusi pengendalian sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Sampah karena seperti bank uang, bank sampah ini juga memiliki nasabah yang menabung sampah anorganik. Jadi setelah dipilah warga, sampah anorganik tidak diangkut ke tempat pembuangan sampah tapi dibawa ke bank sampah untuk ditimbang, dihargai, dan kemudian harganya dicatat di buku tabungan nasabahnya.

Petugas kebersihan Gridea yang memilah sampah di gerobaknya
dan menjual sampah anorganik untuk tambahan uang sekolah anak
Hanya saja, ada hal yang cukup penting untuk dicermati tentang bank sampah, karena sesudah beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan teman2 dari tim UI yang sedang membangun komunitas bank sampah ini, saya menemukan persepsi yang berbeda di antara kami dalam melihat persoalan sampah.

Beberapa tahun terakhir, waktu saya mulai mengelola sampah rumah tangga saya, saya belajar dari teman2 aktivis lingkungan bahwa mengatasi masalah sampah adalah berusaha mengurangi sampah yang kita hasilkan, kalau bisa sampai ke titik nol atau zero waste.

Tapi coba perhatikan hal berikut ini :
waktu kami merencanakan bersama-sama akan membuat training of trainer bank sampah, (seperti kebiasaan saya kalau mengadakan kegiatan di pramuka yang sebisa mungkin zero waste) ketika saya mengusulkan untuk tidak menggunakan air minum kemasan dan snackbox untuk konsumsinya, mereka mengatakan bahwa justru kita pakai itu untuk memberikan contoh sampah apa yang bisa ditabung di bank sampah. Menurut teman2 waktu itu, sekarang ini sulit menghindari penggunaan air minum kemasan dan snackbox kalau kita mengadakan acara
Itu artinya...
ada hal kritis di bank sampah yang perlu kita cermati yaitu bagaimana untuk tidak mendorong orang untuk tidak menghasilkan sampah sebanyak2nya hanya karena ada nilai ekonominya

Di sini saya menemui perbedaan persepsi Reduce dalam sistem pengelolaan sampah 3R. Reduce menurut persepsi saya adalah meminimasi sampah yang kita hasilkan. Sedangkan menurut persepsi teman2, Reduce adalah meminimasi sampah yang masuk ke TPS.

Jadi, perlu ditekankan di sini bahwa inisiatif bank sampah itu hanya sebagian alternatif solusi dari masalah sampah. Karena kalau dilihat dari proses 3R (Reduce-Reuse-Recycle), bank sampah ini masuk di kategori Reuse/Recycle, sementara nyawa 3R itu ada di Reduce agar sebisa mungkin tidak me-recycle, karena sampahnya sudah minimal.

Selain itu, kacamata orang ketika memandang issue sampah & lingkungan, hanya sebatas 'sampah bisa hancur atau tidak', sama seperti kantong kresek yang orang justru berpikir mencari cara supaya kantong kresek itu bisa hancur.
Orang lupa kalau semua barang itu butuh sumber daya alam untuk membuatnya. Semakin banyak barang yang diproduksi, semakin cepat kita tidak bisa 'punya kertas' lagi, 'punya plastik' lagi, 'punya kayu' lagi, dst.
Syukurlah setelah mendapat penjelasan seperti itu, pada akhirnya kami menemukan spirit yang sama, bahwa yang lebih penting dilakukan untuk penyelamatan lingkungan, khususnya mengatasi persoalan sampah adalah edukasi agar setiap orang berusaha mengurangi sampah yang dihasilkan, kalau bisa sampai ke titik nol dan memilahnya. Bukan melihat sampah dari sisi ekonominya.

Bank sampah bisa saja tetap ada selama produsen sabun, minyak, produk-produk instant dsb masih menggunakan kemasan plastik untuk produknya. So far, belum kebayang sih gimana solusinya.

Mungkin tidak perlu memperbanyak bank sampahnya sampai harus ada di tiap RW, tapi pemerintah kota bisa mensupport bank sampah yang sudah ada supaya bisa lebih luas jangkauannya, misal dengan memberi bantuan kendaraan untuk mengambil sampah dari wilayah2 di sekitarnya.

Atau barangkali ada ide2 kreatif dan 'gila' yang bisa menjadi solusi di tingkat kota. Bikin pabrik 'batako'  yang dibuat dari sampah anorganik misalnya ? Jadi ngga perlu ada bank sampah. Well, siapa tau ? :D

Ada usulkah ? Mari berdiskusi....
Tapi untuk sekarang ini penting jadikan 'zero waste' sebagai gaya hidup ! ;)

Dan, simak terus yuk catatan saya selanjutnya tentang sharing pemilahan sampah di RW24 Gridea...

Comments

  1. wow...artikel yang menarik ini mbaa, saya jadi kepengen tau lebih banyak deh tentang bank sampah ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, mbaa...bank sampah ini mmg menarik untuk dicermati

      apalagi untuk Bekasi yg tahun 2012 ini meraih nilai terendah untuk penilaian adipura nya...;)

      http://www.bekasikota.go.id/read/7883/bekasi-bukan-kota-terkotor-tapi-nilai-terendah-adipura-2012

      Delete
  2. Waktu saya kerja di perusahaan telco sering nih 3R didengungkan, juga dipraktekkan. Misal memanfaatkan kertas untuk foto kopi bolak-balik. Dimulai dari lingkungan kecil (keluarga) 3R ini keren juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, mas, memang sudah waktunya kita peduli dan ikut melestarikan lingkungan.

      sampah itu seperti api, lebih mudah dikelola ketika masih kecil..

      tks sudah mampir :)

      Delete
  3. Memang ruwet ya mbak, kalau disosialisasikan 'sampah itu bisa jadi uang' ibu2 ya malah semakin rajin mengumpulkan sampah, kewarung malah minta kreseknya lebih banyak he he he .Memang sebenarnya yg diperlukan adalah kesadaran mengurangi sampah, tapi kadang masih sulit. Jadi mungkin perlu ada lagi 'pemaksaan' ya mbak.Misalnya produksi plastik kresek kena pajaknya sangat tinggi, karena dimasukkan saja ke barang mewah/ berbahaya.Dan konsumen harus membayar terpisah. Jadi kalau belanja kalau mau pakai kresek, harus bayar misal 10.000,- gitu mbak, nah jadi kan sayang uang ya. jadi akhirnya memilih bawa tas sendiri.Atau gimana ya mbak ? Bingung juga .

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts